JABARNEWS.ID – Demokrasi di Indonesia semakin terasa tegang bagi para aktivis, dengan munculnya kabar tentang pembungkaman hak berekspresi di berbagai belahan negeri. Meskipun hak untuk menyampaikan pendapat dijamin oleh konstitusi, kenyataannya sering kali berbeda.
Menurut UUD 1945 Pasal 28F, setiap warga negara memiliki hak untuk menyampaikan pendapatnya. Namun, implementasinya sering kali jauh dari harapan, terutama dengan adanya aturan turunan yang dinilai ambigu dan cenderung membatasi kebebasan berpendapat.
Para aktivis yang mengkritik pemerintah, baik di tingkat nasional maupun daerah, sering kali dihadapkan pada risiko dipidanakan dengan menggunakan aturan yang dianggap dipaksakan untuk membungkam suara-suara kritis di ruang publik.
Tidak hanya di dalam negeri, namun juga di panggung internasional, Indonesia dinilai terlalu lamban dalam menanggapi kritik terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Amnesty International Indonesia menyatakan bahwa respons Pemerintah terhadap kritik dari Komite Hak Asasi Manusia PBB cenderung minim dan meremehkan fakta-fakta yang ada.
Rozy Brilian, Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), menyatakan bahwa pemerintahan Jokowi minim dalam membuka ruang partisipasi publik dalam proses pembentukan undang-undang. Hal ini menandakan bahwa prinsip-prinsip AUPB/Good Governance, yang mengedepankan kepentingan masyarakat, semakin jauh dari realitas.
Kriminalisasi terhadap aktivis seperti kasus yang menimpa Haris dan Fatia yang dilaporkan pencemaran nama baik oleh Menko Marves L.B Pandjaitan, dan kasus yang menimpa mantan Wakil Sekretaris Jenderal PB HMI Akbar Idris yang dilaporkan Bupati Bulukumba atas pencemaran nama baik.
Sebagai gambaran Akbar Idris mengkritisi Bupati Bulukumba bedasarkan data hasil temuannya berupa kinerja bupati tersebut, malah berakhir dipidana dengan pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sehingga banyak aktivis yang berani mengkritik pemerintah dihadapkan pada tuduhan-tuduhan yang ambigu, yang sering kali berujung pada proses hukum yang panjang dan melelahkan.
Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Kota Bogor telah menggelar aksi solidaritas sebagai bentuk protes terhadap pembatasan kebebasan berekspresi di Indonesia. Mereka menuntut Presiden Jokowi untuk memberikan perhatian lebih terhadap kasus-kasus kriminalisasi aktivis, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Mereka juga mendesak Presiden untuk mencabut aturan-aturan yang kerap kali digunakan untuk mengkriminalisasi aktivis dan menolak segala bentuk Rancangan Undang-undang yang dinilai akan mempersempit ruang-ruang publik untuk berpendapat atau menyampaikan informasi.
Secara rinci, berikut lima poin tuntutan aksi HMI Kota Bogor:
- Meminta Presiden Jokowi dodo memberikan atensi atau perhatiannya terhadap kasus kasus yang mengkriminalisasi aktivis baik di pusat maupun daerah
- Meminta presiden Jokowi memberikan perhatiannya terhadap kasus yang menimpa Akbar Idris mantan wasekjen PB HMI.
- Menuntut Presiden Jokowi untuk menindak atau memberhentikan pejabat pejabatnya yang anti terhadapa kritik, baik di daerah ataupun pusat.
- Mendesak presiden Jokowi untuk mencabut aturan atau pasal pasal karet yang kerap kali mengkriminalisasi aktivis.
- Menolak segala bentuk Rancangan Undang-undang yang dinilai memperkecil ruang ruang public berpedapat atau menyapaikan informasi. Seperti RUU penyiaran akan larang konten ekslusif jurnalisme berbasis investigasi.